Selamat Datang di Pemandian Air Panas Guci


Profil

Dari sejarahnya, konon cerita Guci berawal dari sebuah pedukuhan bernama keputihan yang memiliki arti suci/ belum tercemar yang berarti suatu daerah yang belum tercemar oleh peradaban luar maupun agama. Istilah keputihan sendiri diperkenalkan oleh Kyai Ageng Klitik (Raden Mas Arya Wiryo), merupakan bangsawan Kerajaan Mataram Yogyakarta yang lari karena diburu oleh tentara kolonial Belanda, pada kisaran tahun 1771.


Di tempat pelariannya, Dukuh Keputihan, Kyai Ageng Klitik menetap dan membuka ladang pertanian, hingga banyak warga dari luar pedukuhan yang berdatangan dan ikut menetap di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, pedukuhan ramai menjadi suatu perkampungan.


Suatu ketika, datanglah Syekh Elang Sutajaya, salah seorang santri utusan Sunan Gunung Jati Cirebon ke Dukuh Keputihan. Beliau mengemban misi menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah bagian Barat. Kedatangan Syekh Elang Sutajaya diterima dengan suka cita oleh Kyai Ageng Klitik dan masyarakat Dukuh Keputihan. Syekh Elang Sutajaya pun kemudian menetap dan bersama-sama dengan Kyai Ageng Klitik menyebarkan syiar agama Islam.


Seiring berkembangan waktu dan meluasnya pengaruh Islam, oleh masyarakat, Kyai Ageng Klitik diangkat menjadi Kepala Desa. Di saat Kyai Ageng Klitik mengembangkan areal pemukiman dan pertanian di wilayahnya, beliau menemukan sumber air panas dari dalam gua, yang kemudian dikenal dengan seutan pancuran 13. Setelah itu, berturut-turut ditemukan pula sumber-sumber lain di lokasi sekitarnya. Atas penemuanya itu, Kyai Ageng Klitik kemudian diangkat sebagai Juru Kunci.


Selang beberapa waktu setelah penemuan pancuran 13, Kyai Ageng Klitik menemukan sebuah benda pusaka berupa Guci. Konon cerita, guci yang berisi air dari sumber air panas yang didoakan itu sangat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kejadian saat itu merupakan peristiwa fenomenal bagi warga dukuh Keputihan dan sekitarnya. Atas penemuannya itu, masyarakat lebih sering menyebut nama Guci, hingga lambat laun Dukuh Keputihan itu lebih dikenal dengan nama Guci.


Selain cerita tersebut, berkembang pula cerita dengan versi yang lain. Konon, air panas Guci berasal dari air yang diberikan Sunan Gunung Jati Cirebon kepada santrinya, Syekh Elang Sutajaya, yang ditempatkan dalam wadah berupa guci. Air tersebut sebagai bekal bagi Syekh Elang Sutajaya dalam menyebarkan agama Islam ke Jawa Tengah bagian Barat di sekitar Tegal. Air di dalam guci, ternyata mengandung khasiat dan mendatangkan berkah. Namun sayangnya, air pemberian Sunan gunung Jati Cirebon itu sangat terbatas jumlahnya dan konon akan habis, saat Syekh Elang Sutajaya sampai di Dukuh Keputihan. Padahal, warga di Dukuh Keputihan sangat berharap mendapatkan air keramat itu.


Demi memenuhi permintaan warga akan air keramat yang berasal dari dalam guci, tepat pada malam Jumat Kliwon, Syekh Elang Sutajaya pun memohon kepada Allah Sesaat kemudian, Syekh Elang Sutajaya pun menancapkan tongkat saktinya ke dalam tanah. Atas izin Allah, mengalirlah air panas tanpa belerang yang penuh rahmat, hingga saat ini. Kini, setiap malam Jumat Kliwon, banyak orang datang dan mandi di tempat pemandian air panas ini untuk mendapat berkah. Sementara guci yang semula menjadi wadah, diyakini berubah menjadi batu dan tidak ada satupun warga yang mampu mengangkat guci tersebut. Hingga kini, wilayah Dukuh Keputihan itu lebih dikenal dengan nama Guci.


Visi
Pariwisata di Kabupaten Tegal, lebih maju lagi dari sekarang. guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Misi
Permasalahan pariwisata harus ditangani secara serius. Sebab, pariwisata sudah menjadi jargon kebanggaan masyarakat, terutama pemkab Tegal.
Disparbud harus merubah pola aroganisme sepihak, supaya bisa mengembangkan segala potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Tegal secara bersama-sama dalam satu lingkaran semangat gotong royong untuk menbangun.
OW. Guci yang ditahun 2010 nanti direncanakan akan lebih menarik dengan segala fasilitas wahana permainan air nan modern disejumlah titik obyek.